Newest Post
Nafsu perempuan itu 9 dan akalnya 1 sedangkan laki laki sebaliknya, nafsunya
1 dan akalnya 9. Ungkapan ini cukup dikenal luas dikalangan umat muslim. Bahkan
konon kabarnya berasal dari hadis Rasulullah. Kali ini penulis tidak sempat
menelusuri kitab hadis untuk membahas bagaimana sebenarnya kualitas dari hadis
ini. Apakah shahih dan bisa dijadikan landasan hukum syara atau dha’if (lemah) sehingga
tidak layak. Atau malah ia bukan hadis hanya pernyataan yang disepakati
masyarakat muslim saja.
Terlepas dari shahih tidaknya hadis ini, tetap saja memiliki efek dalam
realitas keberagamaan dan keseharian muslim. Logikanya kalau memang hadis ini
benar, tentu perempuan yang memiliki nafsu 9 akan dengan mudah tergoda dan
melakukan berbagai cara untuk melihat dan menundukan lelaki ganteng, sexy dan
six pack misalnya. Tapi hal ini sangat langka dalam realitas. Yang kebanyakan
terjadi adalah bahwa lelaki lah yang banyak tergoda untuk melihat dan
menundukan perempuan yang menarik hatinya. Bahkan sudah menjadi pemahaman yang
umum pula bahwa lelaki agresif dan perempuan pasif.
Menurut Mernissi seorang feminis muslim Maroko dalam bukunya Beyond The Veil
konsep bahwa nafsu perempuan 9 dan akalnya 1 ini menunjukan bahwa seksualitas
perempuan dalam Islam itu bersifat aktif. Dalam buku ini Mernissi mengutip lalu
mengkritisi Ghazali bahwa perempuan memiliki kekuatan destruktif dalam sebuah
peradaban sehingga harus dikontrol untuk mencegah lelaki melalaikan tugas tugas
sosial keagamaanya. Cara pengontrolannya ialah dengan pengucilan, pencadaran
dan pemisahan ruang berdasarkan jenis kelamin.
Masalah ini juga dibahas oleh Qasim Amin yang menemukan logika terbalik
dalam pemahaman seksualitas tentang perempuan dalam Islam. Qasim Amin
mengajukan pertanyaan Siapa dan terhadap apa? Kalau lelaki memiliki akal 9 dan
nafsu 1 kenapa pula dikhawatirkan dia tergoda oleh perempuan cantik? Kenapa
pula muncul konsep fitnah dalam Islam yang diterjemahkan sebagai kekacauan yang
disebabkan oleh gangguan seksual yang ditimbulkan oleh kaum perempuan?. Qasim
Amin mempertanyakan siapa sebenarnya yang dilindungi dengan cara pemingitan?
“jika yang ditakutkan lelaki adalah bahwa perempuan tergoda oleh daya tarik
kejantananya, mengapa mereka tidak menerapkan cadar bagi diri mereka sendiri?
Apakah lelaki berfikir bahwa kemampuan mereka untuk melawan godaan lebih lemah
dari perempuan? Apakah lelaki dipandang kurang mampu dari perempuan untuk menguasai
diri mereka dan menolak dorongan seksualnya? Dengan mencegah perempuan untuk
memperlihatkan diri mereka tanpa cadar memperlihatkan ketakutan lelaki akan
kehilangan penguasaan terhadap akal sehat mereka, sehingga mudah terjatuh
kepada perangkap fitnah, kapan saja mereka dihadapkan dengan perempuan yang
tidak bercadar. (Qasim Amin, The Liberation of Women, 1928:65)
Kesimpulan Qasim Amin jika lelaki adalah mahluk yang lemah bila berhadapan
dengan perempuan cantik maka seharusnya kelompok yang lemah inilah yang harus
dilindungi dan merekalah yang seharusnya menutupi dirinya (bercadar? hehehehe).
Beberapa alasan perempuan tidak boleh mempimpin dalam ritual keagaamaan dalam
Islam juga terkait bahwa tubuh perempuan akan mengganggu konsentrasi dalam
beribadah. Kenapa melihat perempuan sebagai mahluk sensual kalau begitu?
Bisakah melihat perempuan dengan netral? Jadi siapa sebenarnya yang bermasalah?
Penulis jadi teringat perkataan para aktifis perempuan di Indonesia terkait
rok mini yang mengatakan bahwa yang perlu diurusi adalah otak para lelaki yang
mesum dan ngeres karena kalau otaknya lempeng dan ajeg, dia tidak akan mau
mengganggu perempuan apalagi memperkosa. Karena bagi manusia yang memiliki otak
yang ajeg, tidak dibenarkan melakukan kekerasan dan pemaksaan terhadap manusia
yang lain. Bagi manusia yang memiliki otak ngeres dan bengkok meski perempuan
sudah dibungkus rapi (emang lontong?) bila memang berniat memperkosa ya dia
akan melakukannya. Berapa banyak perempuan berbusana rapi dan berjilbab yang
juga jadi korban perkosaan. Artinya yang substansial bukan pada rok mini atau
busana tertutupnya melainkan konsep seksualitas yang ada dalam kepala setiap
lelaki dan perempuan.
Pemahaman yang menyalahkan otak mesum dan bengkok lelaki seolah benar, namun
apakah mudah memperbaiki sesuatu yang berada di luar diri kita (perempuan)
sebagai upaya mencegah tindak kekerasan seksual? Padahal konsep seksualitas
bahwa lelaki mendominasi dan perempuan didominasi sudah berurat akar sepanjang
sejarah manusia? Menurut hemat penulis, selain mengurusi dan mencoba mengubah
konsep seksualitas yang ada, usaha perlindungan diri dengan memakai pakaian
santun, tidak keluar di jam jam yang rawan sendirian kecuali untuk hal yang
sangat urgent masih harus dilakukan. Berpakaian santun juga bukan sebuah
kerugian bagi seorang perempuan bukan?
Seksualitas memang tidak melulu tentang aktifitas seksual. Ia merupakan
konsep dan kontruksi sosial terhadap nilai dan perilaku yang berkaitan dengan
seks, maka konsep seksualitas akan berbeda menurut tempat dan waktu. Perbedaan
ini bukan hanya dalam makna seksualitas antar kebudayaan, tetapi juga dalam
pemaknaan yang ada dalam budaya itu sendiri. Hal ini dalam penuturan Saptari
sebagaimana yang dikutipnya dari Truongh karena diskursus seksualitas mengatur
tiga dimensi kehidupan manusia.
Pertama, dimensi biologis yaitu yang menyangkut kegiatan seks sebagai
kenikmatan biologis atau untuk mendapatkan keturunan. Kedua, dimensi sosial
yang meliputi hubungan-hubungan antara individu yang melakukan hubungan seks secara
sah atau tidak sah (menurut ukuran masyarakat yang bersangkutan). Ketiga,
dimensi subjektif yang berhubungan dengan kesadaran individu terhadap seksual
diri sendiri atau kelompok (Truongh, Thanh-Dam, Seks, Uang dan Kekuasaan :
Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara, 1992: xxiii)
Dengan batasan yang begitu luas, seksualitas menjadi sebuah diskursus yang
menyangkut perilaku jenis kelamin sekaligus sebagai seperangkat gagasan yang
membentuk norma. Keduanya saling berhubungan satu sama lain. Pemahaman seksualitas
perempuan yang aktif dalam Islam sehingga dihawatirkan terjadi destruksi dalam
sebuah peradaban karena fitnah perempuan mengakibatkan tubuh perempuan dikenai
aturan aturan yang ketat merupakan sebuah logika terbalik. Kenapa hal ini
terjadi? karena para penafsir, ulama, cendekiawan hampir semua berjenis kelamin
lelaki dan tentu saja alam bawah sadarnya berkerja untuk kepentingan jenis
kelamin ini. Karenanya bagi kaum perempuan, mari menulis agar pengalaman dan
pengetahuan kita bisa jadi sumber pengetahuan dan bisa memberi wacana lain agar
kehidupan ini lebih seimbang.